1. Tuduhan Mengandung Sentimen Negatif terhadap Negara Tertentu
Salah satu kontroversi paling menonjol yang melingkupi Solo Leveling adalah penggambaran karakter dan negara tertentu dalam cerita. Dalam versi manhwa (webtoon), terdapat karakter bernama Goto Ryuji, seorang Hunter asal Jepang, yang digambarkan sebagai sosok sombong, ambisius, dan akhirnya mengalami nasib tragis saat menghadapi Ant King di Jeju Island Arc.
Beberapa pihak menilai penggambaran ini menyudutkan Jepang. Tak hanya itu, dalam beberapa dialog dan adegan, konflik antara Hunter Korea dan Jepang terasa sangat tegang dan dipandang sebagai bentuk “anti-Jepangisme”. Hal ini menyebabkan Solo Leveling sempat menuai kecaman dari komunitas anime Jepang, bahkan sebelum animenya resmi tayang.
2. Perubahan Cerita dalam Versi Anime untuk Menghindari Kontroversi
Untuk menghindari konflik yang lebih besar, studio A-1 Pictures dan pihak produksi melakukan sejumlah perubahan dalam adaptasi anime. Salah satunya adalah mengubah nama karakter dan latar belakang kebangsaan untuk membuatnya lebih netral secara internasional.
Namun, meskipun sudah ada perubahan, tetap saja beberapa negara merasa konten original dari manhwa masih menyimpan pesan yang sensitif jika dikaitkan dengan sejarah hubungan antara Korea dan Jepang. Beberapa sensor bahkan dilakukan saat ditayangkan di beberapa platform streaming di wilayah Asia Timur.
3. Konten Kekerasan yang Dianggap Terlalu Ekstrem
Selain isu geopolitik, alasan lain yang membuat Solo Leveling mendapat pembatasan di beberapa negara adalah tingkat kekerasan dan adegan brutal. Anime ini tidak ragu menampilkan darah, potongan tubuh, dan aksi pertarungan sadis yang dianggap terlalu ekstrem untuk sebagian negara dengan standar sensor ketat.
Misalnya, di beberapa negara di Timur Tengah dan Asia Tenggara, Solo Leveling hanya bisa ditonton oleh pengguna dewasa setelah melewati filter umur. Beberapa platform streaming bahkan mengaburkan adegan pembantaian monster atau memotong durasi pertempuran untuk menyesuaikan regulasi lokal.
4. Tema Supranatural dan Isu Agama
Tidak sedikit juga negara yang cukup sensitif terhadap konten supranatural, terutama yang menyangkut tema reinkarnasi, iblis, hingga pemanggilan roh. Dalam Solo Leveling, kekuatan Shadow Monarch yang dimiliki Sung Jin-Woo melibatkan praktik kebangkitan bayangan, pengendalian roh, dan ritual yang bisa dianggap menyerempet ke arah okultisme.
Beberapa lembaga sensor nasional menganggap ini berpotensi berkonflik dengan ajaran agama lokal, sehingga memutuskan untuk membatasi atau bahkan melarang penayangannya di televisi nasional. Namun, akses melalui platform digital tetap bisa dilakukan dengan pembatasan usia.
5. Negara-Negara yang Disebut-sebut Membatasi Solo Leveling
Meski tidak semua informasi dirilis secara resmi, beberapa laporan menyebut bahwa Solo Leveling menghadapi pembatasan atau pelarangan tayang di negara seperti:
China: karena konten kekerasan dan unsur mistis berlebihan.
Arab Saudi dan beberapa negara Timur Tengah: terkait konten okultisme dan kekerasan ekstrem.
Beberapa wilayah Jepang: bukan dilarang, tapi ada penolakan dari sebagian komunitas terhadap versi manhwa.
Di sisi lain, Solo Leveling tetap mendapat sambutan luar biasa di negara-negara seperti Korea Selatan, Indonesia, Filipina, Amerika Serikat, dan Brasil. Bahkan, popularitasnya justru meningkat seiring kontroversi yang beredar.
Kesimpulan
Solo Leveling adalah anime yang penuh aksi, drama, dan misteri yang membius jutaan penggemar. Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa konten dengan muatan politik, kekerasan ekstrem, dan tema supranatural membuatnya rawan terhadap pembatasan di beberapa negara.
Meskipun begitu, ketertarikan global terhadap Solo Leveling tetap tinggi. Adaptasi anime, manhwa, dan bahkan spin-off Solo Leveling: Ragnarok terus mendapatkan perhatian luas. Kontroversi ini justru membuat anime ini semakin diperbincangkan dan mengundang rasa penasaran.
Apakah pelarangan ini akan memengaruhi popularitasnya ke depan? Atau justru membuat Solo Leveling semakin legendaris? Waktu yang akan menjawab.